Rabu, 09 Mei 2012

Hasil Kerajinan kerajinan rotan Desa Teluk Wetan






Belasan perempuan duduk bersila di sebuah ruangan di bengkel kerajinan rotan Marto Putro Rotan di Desa Teluk Wetan, Kecamatan Welahan, Jepara. Jari-jemari tangan mereka sibuk menganyam ranting rotan. Ada yang membuat kap lampu bermotif sarang burung, ada juga yang membuat tutup saji, rak koran, dan tempat buah.


Bengkel itu milik Subhi, 40 tahun. Sudah puluhan tahun dia menekuni kerajinan yang diwariskan kakek buyutnya itu. "Semua bisa kami kerjakan. Pembeli bebas memesan," kata Subhi dengan nada yakin.

Subhi tidak sedang berpromosi. Dia sangat percaya akan kemahiran anak buahnya membentuk berbagai perlengkapan dari rotan. Ini dibuktikan dengan aneka kerajinan yang dipajang di showroom di sebelah bengkelnya. Dalam ruangan etalase berukuran 4 x 6 meter itu, beragam bentuk kerajinan rotan dipajang. Berbagai jenis kap lampu, ayunan bayi menyerupai angsa, dan boks tempat cucian berbentuk penguin adalah contohnya.

Menurut Subhi, semua bentuk itu adalah hasil kreasinya sendiri. "Kalau modelnya monoton, pembeli bisa bosan," kata dia. Tidak jarang dia mengerjakan bentuk khusus yang dipesan pembeli. "Karena itu, saya katakan tadi, pembeli bebas memesan."

Kerajinan rotan di Jepara sudah berkembang sejak dulu. Kemunculannya hampir sama dengan kerajinan ukiran. Namun, seni ukir Jepara memang lebih populer dibanding rotan. Karena itu, Jepara sering disebut sebagai sentra kerajinan ukiran. 
Pusat kerajinan rotan di Jepara berada di Desa Teluk Wetan dan belakangan menular ke Sidi Gede. Di sana jumlah perajin mencapai angka ratusan. Kemampuan menganyam rotan itu sudah dimiliki secara turun-temurun. Kunayati contohnya. Perajin rotan di Teluk Wetan ini sejak kanak sudah mahir menjalin tali-tali rotan. Kemampuan itu ia peroleh dari orang tuanya. "Orang tua saya belajar dari orang tuanya. Di sini hampir semuanya seperti itu. Keahlian dari generasi ke generasi," kata dia.

Kemampuan mengolah rotan itu tidak hanya dalam bentuk anyaman. Tidak sedikit warga yang menekuni furnitur. Kursi rotan, rak buku, dan gebyok pelaminan adalah contohnya. "Kami biasa berbagi. Yang ingin beli handicraft, datanglah kemari. Yang ingin beli meja-kursi, silakan ke tetangga sebelah," kata Subhi.

Harga yang ditawarkan perajin pun relatif murah. Namun, semua bergantung pada ukuran dan tingkat keunikannya. Satu setel kursi tamu, misalnya, harganya Rp 1-3 juta. "Memang, jika dibandingkan dengan hasil kerajinan dari daerah lain, di sini lebih mahal," kata Subhi lagi. "Tapi kualitasnya kami jamin."

Kepuasan pelanggan itu, kata Subhi, terlihat dari jumlah pemesanan yang tetap tinggi. "Mereka memang bilang mahal. Tapi, anehnya, mereka tetap rutin kemari," kata Subhi.

Kerajinan rotan Desa Teluk Wetan tidak hanya dikenal di dalam negeri. Mereka sering mendapatkan pesanan untuk dibawa ke negara-negara di Asia dan Eropa. Hanya, para perajin tidak mengekspornya secara langsung, tapi lewat lewat pedagang yang datang langsung ke Jepara. Ada juga pengirimannya yang melalui perusahaan di Jakarta.

Kerajinan rotan Teluk Wetan pernah mencapai puncak kejayaan pada saat krisis moneter 1988 dan 1997. Saat itu dolar Amerika melejit setinggi langit. Harga rotan turut melonjak dan omzet perajin membengkak.

Berkah rotan sangat membuka lebar lapangan kerja di Desa Teluk Wetan dan sekitarnya. Selain sebagai perajin, warga berkesempatan membuka usaha bahan baku, seperti rotan, besi, kayu, kertas, plastik, dan jasa pengiriman. Saking banyaknya pekerja yang terserap, beberapa pekerja membuka sentra kerajinan sendiri di Desa Sidi Gede, yang berjarak 10 kilometer dari Teluk Wetan. sohirin

Menganyam Warisan Leluhur

Tidak satu pun yang tahu siapa yang pertama kali memperkenalkan kerajinan rotan di Desa Teluk Wetan, Welahan, Jepara. Di sana setiap orang sepertinya sudah belajar menganyam rotan sejak dalam kandungan. Padahal tidak ada sejengkal tanah pun di Jepara yang ditanami rotan.

"Kakek saya juga tidak bisa menjawab ketika saya tanyai," kata Marto, 57 tahun, perajin rotan generasi tua di desa itu.

Subhi, anak Marto, kini mewarisi usaha keluarga itu. Dia pernah berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu. Namun, tak ada satu pun yang bisa memberikan penjelasan. "Jawaban serupa sama halnya ketika ditanyai siapa yang pertama kali melatih seni ukir di Jepara," kata Subhi. "Singkat kata, anak Teluk Wetan lahir langsung bisa menganyam rotan. Kami belajar sejak di dalam kandungan."

Subhi benar. Di desa itu, sepulang sekolah, anak-anak terlihat asyik menganyam rotan. Ada yang membantu orang tuanya, ada juga yang menjadikan pekerjaan sambilan sepulang sekolah.

Satu hal yang Subhi ingat. Dulu, ketika dia kecil, sebagian warga ada yang menekuni kerajinan anyaman bambu. Ada juga yang mencoba dengan bahan baku eceng gondok dan pelepah pisang. "Tapi, sesuai dengan tuntutan pasar, terutama pasar ekspor, kini sebagian besar beralih ke anyaman rotan," kata Subhi.

Tentang kebolehan mereka membuat kerajinan rotan, jangan ditanya. Meski tidak pernah mengikuti pelatihan khusus menganyam rotan, para perajin bisa membuat bentuk kerajinan sesuai dengan yang diinginkan pembeli. "Tinggal bilang, atau bawa saja gambar yang diinginkan, kami langsung bisa membuat," ujar Subhi.

sumber:dteluk.blogspot.com

10 komentar:

  1. makasih atas infonya gan,, sangat membantu

    BalasHapus
  2. saya jadi semakin tahu,,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, kalau ada saya akan ngasih postingan lagi,

      Hapus
    2. iya gan,,, saya tunggu.

      Hapus
  3. ini hasil copas atau ngetik sendiri???

    BalasHapus
  4. postingnya bagus, bercerita tentang rotan, mudah-mudahan produk rotan indonesia bisa lebih berkembang lagi dan nilai jualnya bisa lebih mahal lagi, dukung produk dalam negri.

    BalasHapus